Melihat Keindahan Bongkahan Batu-batu Karst di Gunung Gambar

Gunung Kidul menjadi salah satu tempat wisata yang bisa dikatakan sempurna, karena di dalamnya terdapat berbagai macam destinasi wisata yang lengkap. Sehingga bagi kamu yang bosan terhadap satu jenis destinasi wisata, di sini kamu bisa menemukan jenis-jenis wisata lainnya. Mulai dari wisata alam, pantai, situs sejarah, wisata religi dan masih banyak lagi. Nah, di Gunung Kidul juga terdapat satu tempat wisata yang menarik untuk kamu kunjungi, namanya Gunung Gambar.

Di Gunung Gambar kamu akan menemukan fragmen material vulkanik tua yang tersusun rapi. Gunung yang dimaksud di Gunung Gambar ini, bukanlah seperti gunung-gunung pada umumnya yang memiliki ketinggian yang menjulang atau pengertian-pengertian gunung lainnya. Namun lebih kepada sebuah bukit dengan puncaknya yang berupa bongkahan batuan karst berukuran besar. Menurut cerita, lokasi ini dulunya merupakan tempat pertapaan Ki Agen Gading Mas.

Dari cerita tersebut, terwariskan sebuah tradisi yang masih melekat hingga kini, yakni upacara Sadranan.  Upacara Sadranan itu bermula dari saat Ki Agung Mas meminta kepada para pengikutnya untuk mengiriminya makanan setiap 3 hari sekali, lalu berkembang menjadi 7 hari sekali, 40 hari sekali hingga menjadi setahun sekali. Upacara Sadranan itu secara garis besar bermaknakan sesembahan suci atau lebih dikenal oleh masyarakat sekitar dengan sebutan srada.

Perlu kamu ketahui, tradisi sadranan ini terdapat juga di beberapa daerah kawasan Gunung Kidul atau di kampung-kampung yang ada di Yogyakarta. Namun Sadranan di Gunung Gambar ini berbeda,  upacara sadranan di Gunung Gambar ini melakukan acara budaya pada masa panen tani ke dua yang jatuh pada sekitar Bulan Juli, tepatnya hari Senin Legi atau Kamis Legi. O ya, Kawasan Gunung Gambar ini dulunya bernama Alas Gempol, perubahan itu terjadi pada masa kehidupan Raden Mas Said sekitar abaf ke-17. Harga tiket masuk yang harus kamu siapkan untuk masuk ke kawasan wisata Gunung Gambar ini kurang lebih sebesar 3 ribu rupiah, dengan jam bukanya pada hari Senin – Minggu pukul 8 pagi hingga pukul 5 sore.

Telaga Pengilon, Pemandangan Air Jernih Pegunungan di Dieng

 


Wisat di Perbukitan Dieng, boleh disebut sebagai tempat wisata yang paling eksis di Kabupaten Wonosobo. Karena dengat dengan wilayah pegunungan, maka tak heran bila di Dieng ini cenderung mudah ditemukan sebuah telaga.
Masing-masing telaga di Dieng memiliki daya tarik sendiri untuk dikunjungi. Misalnya bila berkunjung ke Telaga Menjer yang terkenal dengan airnya yang hijau, telaga pengilon ini terkenal karena memiliki air yang sangat jernih dengan lokasi yang dikelilingi perbukitan.
Telaga Menjer dan Telaga Pengilon kadang disebut sebagai telaga kembar. Hal ini karena lokasinya yang cukup berdekatan. Keduanya, kira-kira jaraknya hanya 300 meter dan dapat dilalui dengan menyusuri jalan setapak.
Setiap tempat yang bernama tentu memiliki asal-usul tersendiri, termasuk juga Telaga Pengilon Dieng yang diambil dari kata telaga yang berarti danau, sedangkan kata pengilon diambil dari Bahasa Jawa yang memiliki arti cermin atau kaca sebagai kata benda, dan ngilo atau bercermin sebagai kata kerja.
Hal ini dikarenakan telaga Pengilon ini memiliki air yang sangat jernih dan tidak mengandung berbagai zat kimia seperti belerang misalnya. Karena itulah kemudian diberi nama sebagai telaga pengilon, yang artinya yakni telaga cermin.
Lokasi lebih tepatnya, telaga ini berlokasi di Dieng Wetan, Kecamatan Kejajar, Wonosobo Jawa Tengah dan hanya berjarak sekitar 1 Km dari kawasan wisata Candi Dieng. Sementara untuk masuk ke telaga pengilon ini, kalian hanya dipatok harga tiket sekitar 10,000 rupiah.
Di telaga ini kita bisa menyaksikan betapa rindang dan hijaunya pepohonan sekitar. Juga memanjakan mata dengan melempar pandang sejauh-jauhnya menikmati telaga ini. []

Sendang Sriningsih, Gua Maria dan Air Sendang Perantara Rahmat Tuhan

Di Yogyakarta banyak sekali terdapat situs candi. Candi-candi tersebut biasanya banyak ditemukan di Kecamatan Prambanan. Namun kali ini ada yang lain daripada situs candi. Di Kecamatan Prambanan ini, di Gayamharjo, antara Bukit Ijo dan Mintorogo, kita bisa menemukan Sendang Sriningsih. Yaitu tempat ziarah berupa mata air abadi dan Gua Maria. Unruk menjangkaunya, kita bisa mengendarai kendaraan bermotor, kemudian menuju arah selatan setelah tiba di pertigaan pertama setelah Candi Prambaan.

Begitu sampai, anda bisa langsung memulai proses ibadah dengan mengikuti rute jalan salib. Rute itu dirancang berupa tangga-tangga yang menanjak ke atas, kurang lebih panjangnya 900 meter. Seperti di rute jalan salib umumnya, di sepanjang jalan itu terdapat relief-relief yang menceritakan perjalanan Yesus memanggul kayu salib. Selama mengikuti rute itu pula, anda juga bisa memanjatkan doa.

Untuk ritual peribadatan, di sendang ini diselenggarakan sembilan kali setahun setiap malam Jumat Kliwon, hari keramat dalam masyarakat Jawa. Saat itu, digelar doa dan misa dengan jumlah peziarah mencapai 3000 orang. Ritual ibadah di malan Jumat Kliwon itu sekaligus menunjukkan adanya perpaduan budaya Jawa dan budaya Katolik di wilayah itu.

Sendang Sriningsih, kabarnya telah menjadi danau bawah tanah. Bagian pinggirnya telah disemen dan bagian atasnya ditutup dengan seng demi terjaganya kebersihan air. Jika ingin mengambil air sendang, kita bisa menyalakan kran yang ada di sebelah kanan bilik sendang. Konon, air sendang ini bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit. []

 

 

Sagio Puppet, Pembuatan Wayang Pertama di Bantul

Sagio Puppet bukan hanya tempat untuk memesan wayang. Di tempat itu juga kita diberi kesempatan untuk belajar mendalami filosofi dan teknik membuatnya. Sagio Puppet dikelola oleh Sagio, seorang masterpiece yang selama lebih dari 30 tahun bertekun dalam pembuatan wayang.

Sagio belajar dari sang ayah (Jaya Perwita) dan seorang pembuat wayang senior Kraton Yogyakarta (MB Prayitno) membuatnya mampu mengenal karakter setiap tokoh wayang. Pengetahuan mendalam yang berpadu dengan semangat cinta wayang yang telah tumbuh sejak usia 11 tahun membuatnya mampu menghasilkan wayang dengan kualitas ultra.

Hasil karya Sagio telah banyak menjadi ‘aktor’ dalam berbagai pertunjukan. Ki Hadi Sugito dan Ki Timbul, adalah dalang terkenal di Indonesia yang mengandalkan wayang karya Sagio. Pejabat negara seperti mantan presiden Abdurahman Wahid yang menggemari tokoh Kumbokarno dan Megawati Soekarno Putri bahkan mengkoleksi wayang karya Sagio. Kepiawaian Sagio juga membuatnya dipercaya seorang turis asing untuk membuat wayang bergaya Spanyol.

Wayang yang dijual oleh Sagio memiliki beragam ukuran dan harga yang terbilang bisa bersaing. Wayang terkecil dibanderol seharga Rp.5000,- hingga yang paling besar seharga Rp.1.500.000,-. Sedangkan satu set wayang untuk pagelaran dijual seharga Rp.200.000.000,- untuk prada emas dan Rp.50.000.000,- hingga Rp.100.000.000,- untruk prada coklat.

Hasil karyanya tesebut bisa dibeli langsung di Sagio Puppet atau beberapa hotel yang menjualnya. Hasil karyanya selain wayang, ada juga topeng batik klasik maupun dekoratif dan juga souvenir kulit maupun kayu yang cocok untuk dikoleksi. []

Gua Kidang Kencana, Fenomena Geologis di Kulon Progo

Jogja memiliki banyak sekali wisata alam. Yang unik kali ini adalah Gua Kidang Kencana. Lokasinya berdekatan dengan Gua Kiskendo. Letaknya yang berada di balik perbukitan sunyi dan tanah karst yang tertutup vegetasi rapat nan subur ini, selain menyuguhkan keindahan namun juga menantang para petualang.

Nama Kidang Kencana mengingatkan kita pada kisah tentang seekor rusa jadi-jadian yang sengaja dikirim Rahwana untuk memisahkan Rama dari Dewi Shinta. Namun ternyata, pertemuan seorang penggembala dan seekor rusa ratusan tahun silamlah yang menjadi sejarah awal penamaan gua yang lorongnya mencapai 350 meter ini. Menurut cerita masyarakat setempat, Mbah Bongsoriyo yang kehilangan kambingnya tak sengaja menemukan hewan piaraannya itu berada di dalam sebuah gua bersama seekor rusa. Sejak itulah gua tempat pertemuan Mbah Bongsoriyo dan si rusa dinamakan Gua Kidang Kencana.

Untuk mencapai mulut gua, kita perlu berjalan sejauh 450 meter melewati jalan cor beton. Kemudian tibalah kita di depan mulut gua yang curam, meski tidak terlalu besar dengan diameter sekitar dua meter. Menyusuri gua ini kita perlu bantuan lampu senter, karena gua ini sangat gelap. Tapi tenang saja, tidak perlu merasa takut karena ada dua orang pemandu yang siap menemani dan menceitakan tentang gua ini di sepanjang penyusuran.

Di dalam gua kita bisa menyaksikan keelokan hasil fenomena endokarst di dinding gua. Bahkan tak jarang kami harus berjalan jongkok atau merangkak jika lubang di perut bumi ini semakin menyempit. Lorong gua yang bisa menembus bagian di balik bukit ini memang dibiarkan alami tanpa ada perubahan sedikit pun. Seluruh ornamen di Gua Kidang Kencana itu pun menambah kekayaan fenomena geologis di Kulon Progo yang senantiasa membuat para penikmatnya berdecak kagum. []

Masjid Kotagede, Masjid Tertua yang Masih Kokoh

 

Kotagede memiliki suasana magis tersendiri ketika kita menjejakkan kaki ke sana. Bangunan-bangunan di sekitar jalan yang masih dengan gaya rumah kolonial memberi kesan tua dan kuno. Bila berkelana  ke Kotagede tidak akan lengkap jika tidak berkunjung ke Masjid Kotagede, bangunan tempat ibadah islam yang tertua di Yogyakarta.

Mungkin di Kotagede yang terkenal adalah tempat pemakaman raja Mataram. Namun sebenarnya, bangunan masjid yang sering kali terlewatkan ini sebenarnya memiliki sisi keunikan yang luar biasa. Masjid yang berdiri sekitar tahun 1640-an ini memiliki cerita pada setiap pirantinya.

Sebelum memasuki kompleks masjid, kita akan menemui sebuah pohon beringin yang konon usianya sudah ratusan tahun. Pohon itu tumbuh di lokasi yang kini dimanfaatkan untuk tempat parkir. Karena usianya yang tua, penduduk setempat menamainya “Wringin Sepuh” dan menganggapnya mendatangkan berkah. Keinginan seseorang, menurut cerita, akan terpenuhi bila mau bertapa di bawah pohon tersebut hingga mendapatkan dua lembar daun jatuh, satu tertelungkup dan satu lagi terentang.

Berjalan mengelilingi halaman masjid, akan dijumpai perbedaan pada tembok yang mengelilingi bangunan masjid. Tembok bagian kiri terdiri dari batu bata yang ukurannya lebih besar, warna yang lebih merah, serta terdapat batu seperti marmer yang di permukaannya ditulis aksara Jawa. Sementara tembok yang lain memiliki batu bata berwarna agak muda, ukuran lebih kecil, dan polos. Tembok yang ada di kiri masjid itulah yang dibangun pada masa Sultan Agung. Sementara tembok yang lain merupakan hasil renovasi Paku Buwono X. Tembok yang dibangun pada masa Sultan Agung berperekat air aren yang dapat membatu sehingga lebih kuat.

Masjid yang usianya telah ratusan tahun itu hingga kini masih terlihat hidup. Warga setempat masih menggunakannya sebagai tempat melaksanakan kegiatan keagamaan. Bila datang saat waktu sholat, akan dilihat puluhan warga menunaikan ibadah. Di luar waktu sholat, banyak warga yang menggunakan masjid untuk tempat berkomunikasi, belajar Al Qur’an, dan lain-lain. []

Rumah Seni Cemeti; Tempat Wisata Kesenian Yang Menyenangkan

Yogyakarta terkenal dengan kota yang menawarkan banyak destinasi-destinasi wisata seputar kesenian, maka tak heran Yogyakarta seringkali disebut-sebut sebagai pusat kesenian dan kebudayaan. Salah satu wisata kesenian yang tak boleh kamu lewatkan di Kota Gudeg ini adalah Rumah Seni Cemeti, tempat wisata tersebut diprakarsai oleh Seniman Nindityo Adipurnomo dan Mella Jaarsma. Rumah Seni Cemeti ini berdiri sejak tahun 1998.

Perlu kamu ketahui bahwa cemeti merupakan salah satu pionir bagi dunia kesenian kontemporer Yogyakarta. Di dalam Rumah Seni Cemeti ini terdapat bangunan galeri yang cukup terkenal namanya di kancah internasional, bangunan tersebut bahkan dipuji oleh media asing The Guardian, sekaligus mendapatkan penghargaan dari Ikatan Arsitek Indonesia pada tahun 2002. Prestasi tersebut dihargai karena bagunannya yang menyatukan konsep modern-tradisonal.

Selain terdapat beberapa galeri, di Rumah Seni Cemeti ini juga menawarkan beberapa macam presentasi seni sepanjang tahun yang bisa kita ikuti. Jika kamu berminat untuk mengikutinya, kamu bisa datang pada 2 waktu di setiap bulannya, tapi itu jika kamu beruntung ya. Sebab, menurut staf dokumentasi yang ada di sana, pameran dan presentasi yang ada di cemeti ini hanya diadakan dua bulan sekali, dan juga jadwal tepatnya yang tidak pasti.

Di dalamnya memamerkan lukisan, film, video, fotografi, instalasi atau pameran arsip. Pameran yang diadakan biasanya pertunjukkan kolaborasi dari seniman residen dari Indonesia dan luar negeri, pameran karya seniman tunggal maupun kelompok. Keberadaan cemeti ini tidak hanya menguntungkan bagi seniman saja, melainkan juga bagi masyarakat luas yang mencintai dan berdedikasi di bidang seni. Di Rumah Seni Cemeti ini terdiri dari kantor, ruang pameran, kamar tinggal seniman residen, ruang pameran dan stock room. Tempat bagi kamu yang ingin memburu karya-karya seniman kontemporer.

Yang tak kalah menarik dari tempat ini adalah kamu bisa mengikuti acara workhsop, artist talk, dan diskusi-diskusi ringan maupun berat ala-ala seniman. Beberapa nama seniman penting tanah air dan komunitas seni yang pernah mengisi di Rumah Seni Cemeti ini di antaranya, Natasha Gabriela Tonte, Sewon Screening, Wisnu Wardhana, dan masih banyak lagi lainnya.

Mengunjungi Makam Raja-Raja, Mengunjungi Sejarah

Bila kamu seorang penyuka wisata ziarah, kamu pasti akrab dengan objek wisata yang satu ini. Atau bila kamu belum pernah mendengarnya, objek wisata ini harus ada dalam daftar kunjunganmu selanjutnya.

Makam Raja-Raja Imogiri adalah kompleks makam Raja-Raja Mataram Islam beserta keturunannya, yaitu raja-raja yang bertahta di Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Mau tahu apa saja yang ada di dalamnya? Simak ulasan kami.

Area pemakaman ini, termasuk raja-raja era Kraton Yogyakarta dan Surakarta, sejatinya punya sejarah panjang. Makam ini dibangun sejak masa Sultan Agung, pemimpin terbesar Kesultanan Mataram Islam. Hal ini dijelaskan dalam buku Jejak Masa Lalu: Sejuta Warisan Budaya (2004) suntingan Arwan Tuti Artha dan ‎Heddy Shri Ahimsa Putra.

Dalam buku itu diceritakan makam raja-raja Mataram yang berada di puncak bukit dibangun atas gagasan Sultan Agung (1613-1645). Bukit ini dinamakan Pajimatan Girirejo, terletak di Bantul, arah selatan Kota Yogyakarta, tak jauh dari pantai selatan. Pembangunan kompleks makam raja-raja di Imogiri ini dimulai pada 1632, atau memasuki dekade kedua era Sultan Agung.

Pusat pemerintahan Kesultanan Mataram Islam kala itu berada di Kotagede, dekat pusat Kota Yogyakarta sekarang.Sebelum dibangunnya kompleks makam raja-raja di Imogiri, Sultan Agung sebenarnya sudah merencanakan area pemakaman khusus yang dinamakan Girilaya.

Perancangnya adalah paman sultan yang bernama Panembahan Juminah, salah satu putra Sutawijaya alias Panembahan Senapati, pendiri Kesultanan Mataram Islam.Namun, tidak berselang lama proses pembangunan makam itu dihentikan sementara karena Panembahan Juminah wafat.

Bila kamu masuk gapura Supit Urang dengan desain arsitekturnya Jawa dengan warna batu bata merah, di sebelah kanan terdapat bangsal tempat para Abdi Dalem Keraton Surakarta, sebelah kiri bangsal Abdi Dalem Keraton Yogyakarta. Bangsal Surakarta agak lebih tinggi bangunannya karena di dalam silsilah, Surakarta memiliki posisi yang lebih tinggi. Lalu lebih ke dalam menuju pintu gerbang utama dan tembok makam terdapat 4 buah padasan (gentong besar) pusaka yang dulunya didapat Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma dari berkunjung ke kerajaan-kerajaan sahabatnya di antaranya Turki dan Syam. Padasan ini dicuci dan diisi air setahun sekali di bulan Muharram atau Suro. Dulunya air padasan ini digunakan untuk wudhu raja ketiga Mataram sebelum berangkat salat Jumat di Mekah.

“Sekarang dikeramatkan di situ. Untuk siapa yang percaya bahwa itu suatu gentong yang keramat, air yang masuk di situ adalah air yang banyak barokahnya,” Ujar seorang pemandu wisata Bardo yang kami temui di bangsal Surakarta.

Untuk mencapai sini, bila dari Terminal Giwangan Yogyakarta, ambil Jalan Imogiri Timur, kemudian, Jalan Pramuka, terus ke Jalan Giriloyo, lalu Pertigaan Belok Kiri, maka sampailah kamu di Makam Raja-Raja Imogiri

Mengenang dan Mengenal Guru Gambar Sejuta Murid

Barangkali kamu asing dengan nama Tino Sidin, atau bagi yang saat kecil sudah punya akses ke televise barangkali tahu samar-samar. Beliau adalah guru gambar sejuta murid yang tayang di layar kaca TVRI selama dua puluh tahun, melalui program “Gemar Menggambar”.

Pelukis ini lahir di Sumatera Utara 1925 ini setia mengajari anak-anak Indonesia dari tahun 1969 – 1989 cara menggambar yang mudah diikuti. Muridnya mulai dari seniman ulung seperti Ugo Untoro; Menteri, Sri Mulyani; hingga masyarakat luas yang tak bisa dicari tahu satu persatu. Maka gelar “guru dengan sejuta murid” sangat cocok untuk guru bangsa, yang mempunyai semacam template ketika sedang menyemangati murid-muridnya: “Bagus… Bagus… Bagus…” atau “Ya, bagus. Teruskan”.

Untuk mengenalkan Tino Sidin pada generasi sekarang, maka pada tahun 2014, keluarga Tino Sidin bekerjasama dengan Kemendikbud meresmikan Taman Tino Sidin yang lebih lanjut pada tahun 2017 direvitalisasi dengan penambahan patung Pak Tino karya pematung Yusman di bagian depan bangunan.

Rumah Pak Tino, berkat arsitek lulusan Atma Jaya Yogya Yoshi Fajar Kresno Murti, rumah tinggal ini bertambah fungsi menjadi sekaligus museum ingatan dan karya Pak Tino, ruang pameran, perpustakaan, dan kelas kesenian. Secara visual depan, yang pertama kali menarik perhatian kita dari bangunan seluas 400 meter persegi ini selain patung raksasa perunggu di atas andesit adalah kesan out-of-the-box detail pagar garasi yang dihias dengan genteng, seakan-akan pagar itu adalah atap. Detail ini, tidak hanya mengejutkan, tetapi juga amat memberi kenikmatan visual.

Di ruang pertama, kita akan melihat dinding bata yang dirancang dengan pola seperti anyaman rotan. Lalu, langit-langit beton yang nampak dicetak dengan gedheg sehingga didapatkan kekuatan beton dengan pola indah anyaman. Tidak sampai di situ, mata kita juga dimanja dengan kontras material yang digunakan sang arsitek: cerah warna kayu kontras dengan gelapnya beton mentah, putih-datar dinding plester kontras dengan jingga-pola batu bata.

Di sini terdapat sekitar 30 karya Tino Sidin yang dipamerkan di dinding-dinding taman tetenger ini. Kebanyakan berpotret kehidupan sehari-hari, semacam fotografer dengan kameranya, Pak Tino merekam hidup ini dengan kuasnya.

Taman Tino Sidin terletak di Jl. Tino Sidin No.297, Kadipiro, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta; dari dari Titik Nol Kilometer, kamu ambil Jl. KH. Ahmad Dahlan, lalu Jl. Yogyakarta, kemudian Wates , nah sampailah kamu di Jl. Tino Sidin.

Bersemedi di Gua Maria Tritis

 

Situs-situs sejarah di Yogyakarta seakan tak pernah habis dijelajahi. Selalu saja ada hal menarik yang bisa kita temukan di kota ini. Salah satunya adalah Gua Maria Tritis ini.Wisatawan mudah menemukan goa yang terletak di Jalur Jalan Lintas Selatan (JJLS) Gunungkidul, arah menuju ke sejumlah pantai selatan seperti Baron, Krakal hingga Pulang Sawal atau Indrayanti.

Gua Maria Tritis merupakan salah satu gua alami yang ada di deretan perbukitan karst Gunungkidul dan dijadikan sebagai tempat peziarahan umat Katholik. Dinamakan Tritis karena selalu ada air yang menetes (tumaritis) dari stalaktit yang ada di langit-langit gua. Pada mulanya gua ini merupakan tempat yang sepi dan angker sehingga tidak banyak orang yang berani memasukinya. Oleh karena itu, gua ini sering dijadikan sebagai tempat pertapaan dan menjadi tempat persinggahan beberapa pangeran dari Kerajaan Mataram. Gua ini mulai dikenal oleh umat Katholik pada tahun 1974, yakni pada saat digunakan sebagai tempat Ekaristi Natal. Mulai saat itu Gua Tritis diberi tambahan nama Maria dan menjadi teUntuk masuk ke dalam goa, pengunjung yang melewati jalur biasa bisa berjalan kurang lebih 20 menit atau sekitar 500 meter untuk sampai di mulut goa. Selain itu, bagi peziarah yang ingin melakukan jalan salip harus berjalan memutari bukit karst dengan 14 pemberhentian.

Untuk masuk ke dalam goa, pengunjung yang melewati jalur biasa bisa berjalan kurang lebih 20 menit atau sekitar 500 meter untuk sampai di mulut goa. Selain itu, bagi peziarah yang ingin melakukan jalan salip harus berjalan memutari bukit karst dengan 14 pemberhentian yang dilengkapi diorama kisah sengsara Yesus. Pada stasi ke 12 dibangun 3 buah salib di bawah bukit yang menggambarkan penyaliban Yesus bersama 2 orang penjahat.

Suasana di sini sangat sunyi. Yang tersisa hanya derik serangga atau beberapa suara mistis yang lebih baik tidak usah digubris. Tempat ini cocok untuk bermeditasi atau menenangkan diri bila pengunjung sedang tidak ramai. Altar perjamuan kudus yang terbuat dari batu alam berhiaskan aneka bunga terlihat di tengah gua. Sedangkan tempat duduk umat hanya berupa hamparan karpet. Nuansa alami dan sederhana begitu terasa di gua ini.

Gua ini ramai dikunjungi pada Mei-Oktober, yang merupakan bulan-bulan Bunda Maria. Bila ingin mendapati suasana syahdu, kamu bisa datang pada minggu pertama di tiap bulannya. Mentari sudah kembali ke peraduannya sementara kamu bersimpuh di depan patung Maria. Pendar lilin yang bergoyang tertiup angin seolah memberi petunjuk bahwa masih ada harapan di tengah gelap dan carut-marutnya keadaan dunia.